السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kali ini saya akan menjelaskan tentang wudhu menurut kitab terjemah Kifayatul Akhyatr karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini. Silahkan dibaca dengan teliti!
WUDHU
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{فصل : وفرائض الوضوء ستّة النّية عند غسل الوجه}
[fardhunya wudhu ada enam: pertama: Niat, sewaktu membasuh muka]
Ketahuilah, didalam berwudhu itu terdapat beberpa syarat dan fardhu. Syarat-syaratnya berwudhu ialah islam, pandai atau cerdik (mumayyiz), airnya suci mensucikan, tdaim ada mani’ (sesuatu yang mengahalang-halangi atau yang mencegah) yang dapat dilihat, misalnya berupa kotoran, atau mani’ syar’iy seperti haidh dan nifas, dan sudah masuk pada waktunya bagi orang yang dalam keadaan dharurat, seperti perempuan mustahadhah dan yang kentutnya terus menerus.
Adapun fardhunya wudhu ada enam, seperti telah disebutkan oleh pengarang diatas. Fardhunya wudhu yang pertama yaitu: Niat. Sebab sabda nabi Muhammad s.a.w :
انّما الاعمال بالنيّات
“segala amal itu tidak sah, jika tidak dengan niat”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Niat ini hukumnya fardu dalam bersuci dari hadats, tetapi tidak wajib dalam menghilangkan najis, menurut qaul (pendapat) yang shahih. tujuan mencuci najis yaitu menghilangkan najis. Menghilangkan najis itu bisa berhasil dengan jalan membasuhnya ; beda dengan hadats. Bersuci dari hadats itu IBADAH. Jadi membutuhkan niat seperti pada ibadah-ibadah lain. Demikian kata Imam Rafi’i
Syarat sahnya niat ialah islam. Jadi tidak dianggap sah wudhunyaorang kafir dan mandinya, sebab niat itu ibadah, sedangkan orang kafir itu bukan ahli ibadah. Bersucinya orang murtad juga tidak sah. Tanpa ada khilaf, yaitu untuk memberatkan hukum ke atas orang yang murtad.
Waktunya niat yang diwajibkan ialah ketika pertama kali membasuh sebagian dari wajah atau muka. Sebab membasuh merupakan permulaan ibadah yang wajib (fardu). Orang tidak diberi pahala atas sunnat-sunnat sebelumnya.
Cara berniat orang yang sehat (tidak berpenyakit), hendaknya berniat dengan salah satu dari tiga perkara ini. Yaitu :
o Niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats
o Niat agar diperbolehkan mengerjakan shalat atau lainnya yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan bersuci
o Niat fardhunya wudhu atau niat menjalankan kewajiban berwudhu. Walaupun orangnya masih kecil (anak-anak).
Imam Nawawi berkata didalam Syarah Al-muhadzdzabi : Andaikata orang tersebut berniat “bersuci untuk shalat” atau “bersuci untuk selain shalat” yaitu segala sesuatu bergantung pada wudhu, wudhunya sudah cukup. Demikian ini diterangkan juga dalam kitab At-Tanbih.
Andaikata orang berniat “bersuci” saja, tidak mengatakn “bersuci dari hadas”, menurut qaul yang shahih wudhunya tidak mencukupi. Sebab bersuci itu ada kalanya dari hadas dan ada kalanya dari najis. Jadi harus ada niat membedakan.
Andaikata orang yang hanya berniat wudhu saja, sah wudhunya menurut qaul yang ashah, tersebut didalam kitab At-Tahqiq dan syarah Al-Muhadzdzab. Lain dengan orang yang mandi janabah, berniat dengan hanya “mandi” saja, tidak cukup mandinya. Al-Mawardi memebedakan antara wudhu dan mandi. Kalau wudhu tidak ada yang berlaku selain ibadah. Tidak seperti mandi. Andaikata orang itu berniat “menghilangkan hadas” dan untuk “membolehkan segala yang menghalang” maka niat yang demikian itu adalah niat yang boleh mencakup segala-galanya.
Kalau orangnya berpenyakit, seperti orang yang mempunyai penyakit terus menerus kencing, atau perempuan mustahadhah, kalau berwudhu niatnya ialah untuk membolehkan segala yang menghalang menurut qaul yang shahih. Tidak sah jika ia(orang yang sakit) berniat menghilangkan hadats, sebab hadats orang tersebut terus-menerus dan tidak pernah hilang. Ada yang mengatakan : wajib mengumpulkan antara niat menghilangkan hadats dan niat untuk membolehkan segala yang menghalang. Ada juga yang mengatakan cukuplah berniat dengan salah satunya.
Cabang permasalahan
Syaratnya niat supaya dianggap sah, yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya ragu-ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, kemudian ia berwudhu karena untuk berhati-hati, setelah itu ia yakin dia sudah berhadats, maka wuduhunya tidak dianggap sah menurut qaul yamg ashah. Sebab orang tersebut berwudhu dalam keadaan hatinya ragu-ragu.
Andaikata orang itu yakin bahwa dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah ia sudah bersuci atau belum, kemudian sesudah berwudhu ternyata ia dalam keadaan berhadats maka wudhunya sah tanpa ada Khilaf. Sebab yang asal adalah dikira tetatpnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya yang disertai dengan tetapnya hadats itu. Dan kecendrungan niat masih tetap kuat terhadap asal yaitu hadas. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallahu-a’lam
Cabang permasalahan
Andaikata orang itu berwudhu, lalu ada bagian sedikit yang diterlupakan pada basuhan yang pertama, kemudian pada basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang sedikit itu ikut terbasuh, maka wudhunya orang tersebut sah menurut qaul yang shahih. lain kalu bagian ynag sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbaharui wudhu, maka menurut qaul yang shahih, tidak mencukupi wudhunya.
Perebedaan pada kedua masalah ini, yaitu kalau berniat tajdid (memperbaharui wudhu), itu tidak mengandung niat fardhu. Lain dengan basuhan kedua atau ketiga, niat fardhunya wudhu boleh mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhu itu belum sempurna pada basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah basuhan yang kedua atau ketiga. Masalah kesalahan dalam beri’tikad tidak membahayakan. Buktinya, andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud pada rakaat yang pertama karena lupa, dan pda rakaat kedua dia bersujud lagi, maka barulah sempurna rakaat yang pertama dengan sujud kedua itu, walaupun ia sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia kerjakan. Wallahu-a’lam
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{وغسل الوجه}
[Kedua: membasuh muka (wajah)].
Membasuh muka adalah permulaan rukun wudhu yang jelas (tampak dimata). Allah s.w.t berfirman :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu.”
(Al-Maidah: 6)
Dalam membasuh muka, diwajibkan meratakan air. Batas-batas muka ialah mulai dari permulaan bidang dahi hingga ujung dagu untuk ukuran panjang muka. Dan mulai dari telinga yang satu sampai telinga yang lain untuk ukuran lebarnya. Tempat mengerik rambut yang ada dikanan kiri dahi tidak termasuk muka. Kedua pelipis tidak termasuk muka menurut qaul yang shahih, tersebut dalam kitab Syarah Ar-Raudhah. Namun imam Rafi’i didalam kitab Al-Muharrar merajihkan adanya pelipis dua itu termasuk bagian dari muka (wajah).
Kemudian, rambut yang tumbuh pada wajah itu ada dua macam :
o Rambut yang tidak keluar dari perbatasan wajah.
o Rambut yang keluar dari perbatasan wajah.
Rambut yang tidak keluar dari perbatasan muka, ada kalanya yang langka tebalnya dan ada kalanya yang tidak langka tebalnya. Rambut yang langka tebalnya seperti rambut alis (kanan dan kiri), lalu bulu mata, kumis (kanan kiri), dan rambut yang tumbuh pada kedua belah pipi bagian tepi, yaitu yang berhadapan dengan kedua belah telinga, antar pelipis dan rambut cambang. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh semua, luar dan dalamnya menyertakan kulit yang dibawahnya, walaupun lebat. Sebab semua rambut tersebut termasuk bagian dari wajah (muka).
Rambut cambang, jika jarang (tidak lebat), kedua-duanya wajib dibasuh, luar dan dalamnya beserta kulitnya. Dan jika tebal (lebat), wajib dibasuh luarnya saja menurut qaul yang azhhar.
Andaikata sebagian dari rambut cambang itu dan yang sebagian lagia tebal, menurut qaul yang rajah, rambut yang jarang hukumnya sama seperti hukum rambut yang semaunya jarang, dan rambut yang tebal hukumnya sama seperti hukum rambut yang semuanya lebat. Ukuran mengenai tebal dan jarangnya rambut ada khilaf. Yang shahih yaitu: rambut jarang ialah rambut yang kulitnya dapat dilihat dalam majlis omong-omong (perbicaraan). Rambut tebal ialah rambut yang tiada kelihatan oleh pandangan mata pada kulit yang ditumbuhinya.
Macam rambut kedua ialah rambut yang keluar dari batas wajah, yaitu rambut jenggot, rambut cambang, rambut kepala, rambut yang tumbuh ditepi pipi (di hadapan telinga), dan rambut pucuknya kumis, yang memanjang maupun melebar. Menurut qaul yang rajih, wajib membasuh luarnya saja. Sebab dengan membasuh luarnya saja sudah boleh digunakan untuk bertatap muka dengan orang lain. Ada yang mengatakan: Tidak diwajibkan membaushnya, sebab rambut-rambut tersebut sudah keluar dari batas-batas wajah.
Imam Nawawi didalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah berkata : Wajib membasuh sebagian dari kepala, leher dan bawah dagu bersamaan dengan membasuh mukanya. Maksudnya agar nyata pemerataan airnya. Andaikata seseorang dipotong hidungnya atau mulutnya, ia wajib membasuh aoa yang kelihatan dari bekas pemotongan itu, sama ada dalam berwudhu ataupun mandinya, menurut qaul yang shahih. Sebab apa yang tampak itu telah berubah menjadi bagian luarnya wajah. Juga wajib membasuh apa yang tampak kemerah-merahan pada kedua bibirnya. Dan disunnatkan hendaknya mengambil air untuk wudhu dengan kedua-dua belah tangan.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{وغسل اليدين مع المرفقين}
[ Ketiga : membasuh kedua tangan beserta sikunya ]
Sebab firman Allah Ta’ala :
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua tanganmu beserta sikunya”
(Al-Maidah: 6)
Lafadz Ilaa itu ada yang menggunakan arti mushahabah (serta), seperti lafadz ilaa yang terdapat dalam firman Allah:
مَنْ اَنْصَارِى إِلَى اللهِ
“siapakah yang akan jadi para penolongku beserta Allah”
(Ali Imran: 52)
Dalik bahwa Ilaa diatas menggunakan arti mushahabah (serta), yaitu Hadits yang diriwayatkan sahabat Jabir r.a. Beliau berkata:
رايت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يدير الماء على المرافق
“Aku pernah melihat Rasulullah s.a.w. memutar-mutarkan air pada siku tangannya.”
Hadits ini diceritakan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan dua orang ini tidak menganggap dha’if pada hadits diatas. Dan diberitakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah memutar-mutarkan air pada siku tangannya dan bersabda: inilah Wudhu, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhu seperti ini.
Orang berwudhu wajib meratakan air keseluruh rambut dan kulit, sehingga sekiranya dibawah kukunya terdapat kotoran yang boleh mengahalang-halangi sampainya air pada kulit itu, maka wudhunya tidak sah. Dan shalatnya menjadi batal karenanya. Wallahu-a’lam.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{ومسح بعض الرأس}
[Keempat: Mengusap sebagian kepala]
Sebab firman Allah s.w.t. :
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Hendaklah kamu mengusap kepalamu”
(Al-Maidah: 6)
Yang dimaksud ayat ini, bukannya mengusap keseluruhan kepala. Sebab sebuha hadits yang diberitakan dari shahabat Al-Mughirah r.a. bahwa Rasulullahn s.a.w pernah berwudhu dengan mengusap ubun-ubunnya serta sorban dan kedua muzahnya (semacam sepatu tinggi). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Lain dari pada itu, oarng yang melakukan tangannya diatas kepala anak yatim, boleh juga dikatakan: Mengusap kepalanya.
Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban dalam berwudhuk ialah apa saja yang boleh disebut mashi (mengusap), walaupun hanya sebagian dari sehelai rambut atau sekedar tempat rambut pada kulit kepalanya. Adapun syaratnya rambut yang diusap, haruslah rambut yang tidak keluar dari batas kepala seandainya orang tersebut memanjangkan rambutnya karena keriting.
Menurut qaul yang shahih, tidak mengapa andaikata rambut yang dipanjangkan itu melewati batas kepala. Andaikata orang itu membasuh kepala sebagai ganti mengusap kepala, atau memercikan air di kepala tadi tetapi airnya tidak mengalir, atau meletakkan tangannya yang sudah ada airnya tetapi tidak menjalakan tangannya, amaka mencukupilah wudhunya menurut qaul yang shahih.
Imam Nawawi didalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah berkata: mengusap kepala tidak semestinya menggunakan tangan. Akan tetapi boleh menggunakan kayu atau sobekan kain dan lain-lain. Andaikata orang lain yang mengusap kepalanya, sudah cukup. Orang perempuan dalam masalah mengusap kepala ini, sama dengan orang laki-laki.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{والخامس غسل الرجلين مع الكعبيمن}
[Kelima: membasuh kedua kaki beserta mata kaki]
Sebab firman Allah s.w.t. :
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(Al-Maidah: 6)
Kalau menurut Qiraah yang membaca nashab lafadz ‘arjula’, kewajiban membasuh kaki sudah nyata. Takdirnya : Waghsiluu arjulak . Kalau menurut Qiraah yang membaca jar ‘arjulikum’, maka sunnat Rasulullah s.a.w. telah menunjukan kewajiban membasuh. Andaikata mengusap kaki diperbolehkan, tentu Rasulullah s.a.w sudah menerangkan, walaupun hanya sekali sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi pada selain kedua kakin ini.
Imam Nawawi didalam Syarah Muslim berkata : Para ulama sudah sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan kedua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak menonjol diantara betis dan telapak kaki, dan pada tiap-tiap sebelah kaki terdapat kedua mata kaki. Orang-orang dari golongan Rafidhah (Syi’ah sesat ) telah menyimpang dari maksudnya ayat ini, semoga Allah Ta’ala mengeji pendapat golongan Rafidhah itu. Mereka (Rafidhah) mengatakan : Pada setiap kaki terdapat hanya satu mata kaki, yaitu tulang yang terdapat pada punggung telapak kaki. Demikian ini telah diberitakan dari Muhammad bin Hasan. Akan tetapi ini tidak benar. Hujjah yang digunakan para Ulama yang menetapkan bahwa pada setiap kaki terdapat dua mata kaki, ialah apa yang mereka nukil dari Ulama Ahli Lughat (bahasa) dan Ahli ilmu Itsyiqaq. Hadist shahih yang kita bahas disini juga telah menunjukan bahwa pada setiap sebelah kaki terdapat dua mata kaki. Sebab didalam Hadits tersebut ada kata-kata.
فغسل رجله اليمنى الى الكعبين , ورجله اليسرى كذلك
“Lalu beliau membasuh kakinya yang kanan hingga kedua mata kaki dan begitu juga beliau membasuh kakinya yang kiri.”
Jadi Hadits ini telah menetapkan dua mata kaki pada setiap kaki.
Aku (Imam Taqiyuddin) hendak katakan : hadistnya An-nu’man bin Basyir r.a. sudah jelas mengandung arti bahwa setiap kaki terdapat dua mata kaki. An-nu’man berkata: Rasulullah mengatakan kepada kita:
أقيموا فرايت الرجل منّا يلصق منكبه بمنكب صاحبه وكعبه بكعبه
“Rapikan barisanmu! Lalu aku melihat setiap seorang diantara kita merapatkan bahunya pad bahu temannya, dan merapatkan mata kakinya pada mata kaki temannya.”
(Riwayat Bukhari)
Sudah maklum bahwa yang dimaksud Hadits tersebut ialah mata kaki yang berupa tulang persendian kaki. Dan tidak cocok, kalau mata kaki di situ adadlah mata kaki yang terdapat pada punggung telapak kaki. Wallahu-a’lam.
Dan ketahuilah, bahwa membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki itu wajib, jika orangnya tidak bermaksud mengusap muzah (semacam sepatu). Bacaan jar pada lafadz ‘arjulikum’, itu barangkali diperuntukan bagi orang yang mengusap muzahnya. Orang yang berwudhu wajib membasuh seluruh kedua kakinya dengan air. Dan air tersebut juga harus merata kesemua kulit dan rambut, sehingga wajib pula membasuh kulit yang pecah-pecah.
Andaikata orang yang meletakan lilin atau pacar di celah-celah kulit kaki yang pecah pecah itu, maka wudhunya tidak sah, dan shalatnya juga tidak sah. Jadi lilin dan pacar itu harus dihilangkan dahulu. Demikian juga harus menghilangkan tahi nyamuk manakala orang itu bangun dari tidurnya. Maka dari itu, hendaklah orang mau menjaga hal-hal yang seumpama tahi nyamuk tersebut. Jadi andaikata oarang itu berwudhu lalu lupa menghilangkan tahi nyamuk itu, dan baru diketahuinnya sesudah berwudhuk, maka ia wajib mencuci tempat tahi itu dan kembali mencuci anggota sesudahnya lagi. Dan wajib pula mengulangi shalatnya. Wallahu-a’lam.
Cabang permasalahan
Andaikata ada orang yang berkumpul padanya hadas kecil, Yaitu wudhu dan hadas besar, yitu mandi, maka ada khilaf yang tersebar diantara para ulama, dan qaul yang shahih dan sudah difatwakan, cukup membasuh (mandi) seluruh tubuhnya dengan niat mandi. Tidak wajib mengumpulkan wudhunya dan mandinya, dan tidak pula wajib tertib dalam wudhu dan mandinya.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{والترتيب على ما ذكرناه}
[Keenam : ialah tertib].
Kefardhuan tertib ini juga diambail dari ayat Al-Qur’an, yaitu apabila kita dikatakn wawnya lafadz yang di‘athafkan tersebut bermakna tertib. Dan apabila tidak, maka kefardhuan tertib diambil dari perbuatan dan sabda Rasulullah s.a.w. Sebab tidak pernag terdengar oleh kita, melainkan wudhunya Nabi pasti dengan cara tertib.
Selain dari pad itu, Rasulullah s.a.w pernah bersabda seusainya dari wudhu:
هذا وضوء لا يقبل الله الصلاة الاّ به
“inilah wudhu, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhu yang seperti ini.”
(Riwayat Bukhari)
Lain dari pad itu, wudhu itu termasuk ibadah yang apabila dalam keadaan uzur, dikembalikan pada separuhnya (yaitu tayammum). Jadi dalam wudhu, diwajibkan tertib sebagaimana dalam shalat. Maka seandainya orang yang berwudhu lupa menjalankan tertib, wudhunya tidak sah, sebagaimana halnya kalau lupa membaca Al-Fatihah di dalam shalat atau lupa bahwa ada najis pad aatubuhnya.
Cabang permasalahan
Seseorang yang selalu mengeluarkan sesuatu yang basah, dan yang basah itu mungkin saja air mani dan mungkin saja air madzi, dan orang itu tidak tahu persis apa itu air mani atau madzi. Apa yang menjadi kewajiban orang tersebut ? Ada khilaf yang tersebar diantara para ulama. Khilaf ini sudah saya (Imam taqiyuddin ) tulis didalam salah satu kitab karanganku, lebih dari tiga belas qaul ; dan yang rajih didalam kitabnya Imam Rafi’i dan kitab Ar-Raudhah, yang tersebut boleh memilih. Memilih mani lalu mandi. Dan boleh memilih madzi lalu mencuci cairan yang terkena pada tubuhnya dan pakaiannya dan kemudian berwudhu. Sebab kalau orang itu menganggap madzi, dan kemudain berwudhu, berarti dia sudah memenuhi sesuatu yang membutuhkan wudhu. Jadi hadas kecilnya hilang, sementara hadas besarnya masih tetap diragukan. Padahal asalnya, hadas besar tidak ada. Demikian juga apabila orang tersebut mandi.
Ada yang mengatakan: Orangnya wajib berhati-hati. Sebab orang tersebut yakin dirinya menanggung salah satu dari dua hadas dan dia tidak bisa lepas dari tanggungan itu kecuali dengan yakin pula, yaitu dengan berahti-hati. Seperti, kalau orang itu mempunyai tanggungan satu shalat diantara dua shalat, dan dia tidak mengetahui dengan nyata shalat yang mana satu yang menjadi tanggungannya, orang yang demikian wajib mengerjakan kedua-dua shalat sekali. Qaul ini kuat, dan diunggulkan oleh Imam Nawawi rahimahullah didalam syarah kitab At-Tanbih dan kitab Ru’usul Masa’il karangan beliau. Wallahu-a’lam.
Demikian penjelasan tentang fardhu-fardhu wudhu dalam kitab terjemah Kifayatul Akhyatr karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini
Bila ada yang ditanyakan mohon isi dikomentar, dan jangan lupa ikuti blog saya supaya kalian semua bisa mendapat pemberitahuan jika saya sudah ada postingan terbaru.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته