Pada kesempatan ini saya akan berbagi ilmu tentang larangan bagi wanita yang haid nifas. Perlu anda ketahui bahwa ada 8 perkara yang haram dilakukan perempuan ketika sedang haid dan nifas sedangkan untuk wanita yang sedang haid saja ada 10 namun saya akan menjelaskan larang kedua-duanya seperti keterangan dalam dalam kitab kifayatul akhyar
{ويحرم بالحيض والنفاس ثمانية أشياء: الصلاة والصوم}
[Diharamkan sebab haid dan nifas delapan perkara, yaitu (1) shalat, (2) puasa]
Bagi wanita yang sedang haid, haram melakukan shalat. Demikian juga sujud tilawah dan sujud syukur. Karena sabda Rasulullah s.a.w.:
اذا اقبلت الحيض فدعى الصلاة
“jika datang darah haid, maka tinggalkanlah shalat”
(Al-Hadits)
Ijmak ulama telah sepakat terhadap keharaman ini. Dan wanita yang haidh tersebut juga tidak diwajibkan mengqhada’ shalatnya, karena ada Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. ‘Aisyah berkata :
كنّا نحيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلّم ثمّ نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
“Kita pernah haid disamping Rosulullah s.a.w, lalu kita suci. Maka kita diperintahkan untuk mengqhada puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqhada shalat”
Dari mahfhumnya Hadits ini pula, perempuan yang haid haram berpuasa disamping haramnya melakukan shalat. Ijmak Ulama juga telah sepakat atas keharaman melakukan puasa ini ketika dalam haid. Akan tetapi dia wajib mengqhada puasanya kemudian, sebagaimana yang dijelaskan didalam Hadisnya ‘Aisyah tadi.
Berkata syaikh Abu Syuja’:
{وقراءة القران ومسّ المصحف وحمله}
[(3) Membaca Alqur’an,(4) menyentuh mushhaf atau membawanya]
Dalil haramnya membaca Alquran ialah sabda Nabi Muhammad s.a.w. :
لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القران
“orang yang junub dan haidh tidak boleh membaca sebagian dari Al-qur’an”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi. Tetapi Hadis ini dha’if, sebagaimana tersebut dalam Syarah Al-Muhadzdzab.
Dalil haramnya menyentuh Al-Quran adalah firman Allah s.w.t. :
“ tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
(Al-Waqi’ah: 79)
Dan Hadits Rasulullah s.a.w.:
لا يمسّ القران الاّ طاهر
“Tidak boleh menyentuh Alqur’an kecuali orang yang suci”
(Riwayat Ad-Daruquthni dari Ibni Umar r.a.)
Kalau menyentuh Alqur’an hukumnya haram, apalagi membawa Alquran. Kecuali jika Alquran itu ada di dalam barang bawaan, yang orangnya tidak sengaja membawa Alquran secara Khusus. Tapi kalau yang dimaksudkan membawanya itu Alquran, maka sekalipun membawanya barang-barang lain, hukumnya tetap haram. Demikian yang telah dipastikan oleh Imam Rafi’i.
Berkata syaikh Abu Syuja’:
{ودخول المسجد}
[(5) Masuk ke dalam masjid]
Masuknya perempuan yang sedang haidh kedalam masjid, jika dia maksud duduk didalamnya, atau berhenti walaupun dengan berdiri, atau berjalan kesana kemari, hukumnya haram. Sebab orang yang junub saja sudah haram masuk kedalam masjid. Apalagi orang yang haidh, tentu tidak ada keraguan lagi bahwa itu lebih mengkhawatirkan daripada orang junub.
Pokok perbedaannya, bahwa jika wanita haidh itu tidak lagi khawatir mengotori masjid, sebab dia sudah bercawat dan memakai pembalut farji. Tapi jika dia khawatir mengotori masjid, haram hukumnya masuk kedalam masjid tanpa ada khilaf.
Imam Rafi’i dan lain-lainnya mengatakan: Hukum seperti ini tidak khusus dalam masalah haidh saja, malahan masalah-masalah lainpun demikian juga, seperti orang beser (sebentarsebentar mau kencing) atau mempunyai luka yang darahnya terus merembus keluar dikhawatirkan mengotori masjid, maka itupun haram lewat didalam masjid.
Andaikata orang hendak masuk kedalam masjid dengan membawa sandal yang ada najisnya, dan dikhawatirkan najisnya itu menetes didalam masjid, maka seharusnya sandalnya itu dikesatkan dulu baru boleh masuk ke masjid. Mengkesatkan ini hukumnya wajib dan haram ditinggalkan.
Berkata syaikh Abu Syuja’:
{والطواف}
[(6) thawaf]
Artinya, wanita yang sedang haidh atau nifas haram melakukan thawaf. Karna dabdan Nabi Muhammad s.a.w. kepada ‘Aisyah pada waktu ‘Aisyah haidh saat menjalankan Ibadah haji.
افعلى ما يفعل الحاجّ غير ان لا تطوفي بالبيت حتّى تطهرى
“Kerjakanlah apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang yang haji kecuali thawaf di Baitullah, sampai saatnya kamu suci”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun lafadznya Hadis ini menggunakan lafadznya Imam Bukhari.
Berdasarkan hadits ini, semua Imam empat bersepakat bahwa wanita yang haidh atau nifas haram melakukan thawaf. Dan disini saya tambahkan pula didalam bab haji, bahwa andaikata wanita yang haidh itu melanggar dan memaksa melakukan thawaf rukun (yaitu thawaf ifadhah), maka tidak sah thawafnya. Dan pelanggaran ini harus ditebus dengan membayar dam menurut selain Imam hanafi, dan dia harus tetap dalam pakaian Ihramnya.
Menurut Imam Hanafi, sah thawafnya. Dan dia wajib menyemebelih unta satu ekor. Tetapi sa’inya yang dilakukan setelah thawaf, tidak sah, dan boleh ditebus dengan seekor kambing.
Al-Mughrirah (pengikut madzhab Maliki) berkata: Tawaf itu tidak disyaratkan harus suci karena suci itu hanyalah perkara sunnat. Kalau orang itu melakukan thawaf dengan menanggung hadas kecil, dia wajib membayar dengan membayar seekor kambing. Dan apabila dia melakukan thawaf dengan menanggung hadas besar yakni junub, dia wajib membayar seekor unta.
{والوطء والإستمتاع فيما بين السرّة والركبة}
[(7)Wathi’, yakni bersetubuh dan (8) berusaha mendapatkan kenikmatan tubuh antara pusat dan lutut]
Dalilnya yaitu Firman Allah s.w.t.:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Jauhilah wanita-wanita pada waktu haidh”
(Al-Baqarah: 222)
Abdullah bin Mas’ud berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai apa saja yang halal saya peroleh dari istri saya yang dalam keadaan haidh. Rasulullah s.a.w. menjawab:
لك ما فوق الإزار
“Kamu boleh menikmati apa saja diluar kain sarungnya”
Hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan beliau tidak menganggap dha’if hadits ini. Berarti hadits ini hadits hasan.
Diriwayatkan kepada ‘Aisyah r.a.:
انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كان يأمر احدانا اذا كانت حائضا ان تأتزر ويباشرها فوق الازاز
“Bahwa Rasulullah s.a.w. memrintahkan kepada kita kaum wanita apabil haidh hendaknya mengenakan tappih (kain panjang yang dipakai oleh perempuan), dan boleh suaminya bersentuh dengannya diluar tapih”
Imam Muslim juga meriwayatkan Hadits seperti di atas dari maimunah, isteri nabi Muhammad s.a.w. Adapun illat atau penyebab keharamannya ialah karena apa yang ada didalam tapih itu adalah daerah terlarangnya farji. Padahal Rasulullah s.a.w. sudah pernah bersabda:
من حام حول الحمى يوشك ان يرتع فيه
“Barangsiapa menggembalakan hewannya disekitar daerah terlarang, sebentar saja pasti akan masuk kedalamnya”
Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan itu hanya wahti’ saja. Demikian ini adalah pendapatnya Imam syafi’I di dalam qaul qadim. Dalilnya yaiitu yang diriwayatkan oleh Anas, bahwa orang-orang Yahudi, jika isteri-isterinya sedang haidh, mereka tidak mau menemani mereka makan dan tidak mau bergaul dengan mereka dirumah. Lalu para shahabat menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. Maka turunlah ayat Alquran yang berbunyi:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Singkirilah perempuan-perempuan itu pada waktu haidh”
(Al-Baqarah: 222)
Oleh yang demikian maka Rasulullah s.a.w.:
اصنعوا كلّ شيئ الاّ النكاحلا
“kamu boleh lakukan apa saja kecuali nikah (jimak).
(Riwayat Muslim)
Di dalam Syarah Almuhadzdzab Imam Nawawi berkata: Qaul ini lebih kuat dalilnya, oleh sebab itu berhaklah ia dipilih. Demikian pula didalam kitab At-Tahqiq dan pada kitab Syarah At-Tanbih dan Al-Wasith, Imam Nawawi memilih qaul ini.
Jadi menurut qaul yang pertama, apakah boleh menikmati bagian pusat dan lutut wanita yang sedang haidh; atau menikmati bagian yang setentang dengannya? Imam Nawawi berkata: Tidak pernah aku melihat penukilan dari Ulama mazhab kita sehubungan dengan masalah ini. Tetapi meurut qaul yang dipilih, boleh dilakukan semua itu. Wallahu-a’lam.
Al-Asna’i berkata: Para Ulama Mazhab Syafi’i tidak mengambil keputusan mengenai hukumnya perempuan haidh menyentuh laki-laki. Menurut kiasnya, hukum wanita haidh itu sama dengan hukum laki-laki. Jadi memegang zakarnya laki-laki itu haram bagi dia.
Ketahuilah, bahwa seandainya ada laki-laki melanggar dan bersenang-senang dengan isterinya yang sedang haidh, selain jimak, orang tersebut tidak berkewajiban apa-apa tanpa ada khilaf. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab. Akan tetapi jika laki-laki itu menjimak isterinya yang sedang haidh dengan sengaja dan tahu hukumnya, dia telah melakukan dosa besar. Demikian apa yang telah dinukil oleh Imam Nawawi dari Imam Syafi’i didalam Ar-Raudhah. Menurut qaul jadid, orang tersebut tidak wajib membayar denda. Dia cukup meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dengan taubat yang baik. Tetapi jika dia menjimak isterinya saat datangnya darah, yaitu saat permulaan dan saat gencar-gencarnya, disunnatkan bersedekah satu dinar. Dan kalau menjimaknya saat darah muali turun dan melemah, disunnatkan bersededah setengah dinar.
Ad-Dawudi menukil dari nashnya Imam Syafi’i dalam qaul jadid, bahwa sedekah seperti itu hukumnya wajib. Ini adalah faedah yang sangat penting.
Menurut kedua qaul di atas, tidak wajib mengeluarkan apa-apapun bagi wanita yang dijimak, dan bioleh memberikan dinar tersebut kepada satu orang saja. Wallahu-a’lam.
Cabang permasalahan
Andaikata seorang isteri mengaku sedang haidh, dan suaminya tidak menaruh curiga terhadap isterinya, haram dia menjimak isterinya. Tetapi jika suamiinya mendustakan pengakuan isterinya itu, tidak haram dia menjimaknya.
Andaikata suami isteri telah telah sependapat mengenai haidhnya, tetapi mereka berselisih soal keputusan darah haidh, maka ucapan yang diterima adlah ucapan isterinya. Demikian kata Imam Nawawi didalam Syarah Al-Muhadzdzab. Wallahu-a’lam.
Perlu diketahui bahwa keharaman bersenang-senang dengan isteri waktu sedang haidh, berlangsungnya sampai terputusnya darah haidh itu dan mandi. Karena Firman Allah s.w.t.:
حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“.....sehingga wanita-wanita itu suci. Kemudian apabila mereka telah suci, maka datangilah (campurilah) mereka menurut apa yang diperintah Allah.”
(Al-Baqarah: 222)
Disini tidak dibedakan antara mandinya perempuan muslimah dan perempuan dzimmiyah. Jadi sumpama perempuan dzimmiyah itu masuk Islam, kemudian mandi, ia wajib mengulangi mandinya lagi menurut qaul yang shahih. Wallahu-a’lam.
No comments:
Post a Comment