السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
kali ini saya akan menjelaskan tentang bagaimana niat didalam wudlu, tentunya ini merupakan sesuatu hal yang penting, karna kalau kita tidak tahu cara niat dalam wudlu maka niatnya tidak sah, begitu juga wudlunya dan sholatnya, thawaf dll.
keterangan ini saya ambil dari kitab terjemah Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin yang menjelaskan
Niat dalam wudhu hukumnya fardu dalam bersuci dari hadats, tetapi tidak wajib dalam menghilangkan najis, menurut qaul (pendapat) yang shahih. tujuan mencuci najis yaitu menghilangkan najis. Menghilangkan najis itu bisa berhasil dengan jalan membasuhnya ; beda dengan hadats. Bersuci dari hadats itu IBADAH. Jadi membutuhkan niat seperti pada ibadah-ibadah lain. Demikian kata Imam Rafi’i
Syarat sahnya niat ialah islam. Jadi tidak dianggap sah wudhunyaorang kafir dan mandinya, sebab niat itu ibadah, sedangkan orang kafir itu bukan ahli ibadah. Bersucinya orang murtad juga tidak sah. Tanpa ada khilaf, yaitu untuk memberatkan hukum ke atas orang yang murtad.
Waktunya niat yang diwajibkan ialah ketika pertama kali membasuh sebagian dari wajah atau muka. Sebab membasuh merupakan permulaan ibadah yang wajib (fardu). Orang tidak diberi pahala atas sunnat-sunnat sebelumnya.
Cara berniat orang yang sehat (tidak berpenyakit), hendaknya berniat dengan salah satu dari tiga perkara ini. Yaitu :
o Niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats
o Niat agar diperbolehkan mengerjakan shalat atau lainnya yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan bersuci
o Niat fardhunya wudhu atau niat menjalankan kewajiban berwudhu. Walaupun orangnya masih kecil (anak-anak).
Imam Nawawi berkata didalam Syarah Al-muhadzdzab : Andaikata orang tersebut berniat “bersuci untuk shalat” atau “bersuci untuk selain shalat” yaitu segala sesuatu bergantung pada wudhu, wudhunya sudah cukup. Demikian ini diterangkan juga dalam kitab At-Tanbih.
Andaikata orang berniat “bersuci” saja, tidak mengatakn “bersuci dari hadas”, menurut qaul yang shahih wudhunya tidak mencukupi. Sebab bersuci itu ada kalanya dari hadas dan ada kalanya dari najis. Jadi harus ada niat membedakan.
Andaikata orang yang hanya berniat wudhu saja, sah wudhunya menurut qaul yang ashah, tersebut didalam kitab At-Tahqiq dan syarah Al-Muhadzdzab. Lain dengan orang yang mandi janabah, berniat dengan hanya “mandi” saja, tidak cukup mandinya. Al-Mawardi memebedakan antara wudhu dan mandi. Kalau wudhu tidak ada yang berlaku selain ibadah. Tidak seperti mandi. Andaikata orang itu berniat “menghilangkan hadas” dan untuk “membolehkan segala yang menghalang” maka niat yang demikian itu adalah niat yang boleh mencakup segala-galanya.
Kalau orangnya berpenyakit, seperti orang yang mempunyai penyakit terus menerus kencing, atau perempuan mustahadhah, kalau berwudhu niatnya ialah untuk membolehkan segala yang menghalang menurut qaul yang shahih. Tidak sah jika ia(orang yang sakit) berniat menghilangkan hadats, sebab hadats orang tersebut terus-menerus dan tidak pernah hilang. Ada yang mengatakan : wajib mengumpulkan antara niat menghilangkan hadats dan niat untuk membolehkan segala yang menghalang. Ada juga yang mengatakan cukuplah berniat dengan salah satunya.
Cabang permasalahan
Syaratnya niat supaya dianggap sah, yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya ragu-ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, kemudian ia berwudhu karena untuk berhati-hati, setelah itu ia yakin dia sudah berhadats, maka wuduhunya tidak dianggap sah menurut qaul yamg ashah. Sebab orang tersebut berwudhu dalam keadaan hatinya ragu-ragu.
Andaikata orang itu yakin bahwa dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah ia sudah bersuci atau belum, kemudian sesudah berwudhu ternyata ia dalam keadaan berhadats maka wudhunya sah tanpa ada Khilaf. Sebab yang asal adalah dikira tetatpnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya yang disertai dengan tetapnya hadats itu. Dan kecendrungan niat masih tetap kuat terhadap asal yaitu hadas. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallahu-a’lam
Cabang permasalahan
Andaikata orang itu berwudhu, lalu ada bagian sedikit yang diterlupakan pada basuhan yang pertama, kemudian pada basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang sedikit itu ikut terbasuh, maka wudhunya orang tersebut sah menurut qaul yang shahih. lain kalu bagian ynag sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbaharui wudhu, maka menurut qaul yang shahih, tidak mencukupi wudhunya.
Perebedaan pada kedua masalah ini, yaitu kalau berniat tajdid (memperbaharui wudhu), itu tidak mengandung niat fardhu. Lain dengan basuhan kedua atau ketiga, niat fardhunya wudhu boleh mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhu itu belum sempurna pada basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah basuhan yang kedua atau ketiga. Masalah kesalahan dalam beri’tikad tidak membahayakan. Buktinya, andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud pada rakaat yang pertama karena lupa, dan pda rakaat kedua dia bersujud lagi, maka barulah sempurna rakaat yang pertama dengan sujud kedua itu, walaupun ia sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia kerjakan. Wallahu-a’lam
Demikian penjelasan tentang bagaimana niat dalam wudhu dalam kitab terjemah Kifayatul Akhyar karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini
Bila ada yang ditanyakan mohon isi dikomentar, dan jangan lupa ikuti blog saya supaya kalian semua bisa mendapat pemberitahuan jika saya sudah ada postingan terbaru.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
No comments:
Post a Comment