Monday 29 January 2018

hewan yang masuk surga

بسم الله الرحمن الرحيم
Allah telah menciptakan beragam makhluk baik manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan maupun mahluk lainnya. Ketika para jin, manusia dan malaikat sudah habis ajalnya maka akan menjalani hidup di akhirat, beda halnya dengan hewan dan tumbuhan. Hewan dan tumbuhan itu tidak akan menjalani kehidupan setelah didunia ini baik ke neraka maupun syurga tetapi akan menjadi tanah pada saat dipadang mahsyar nanti.
Namun ternyata ada 10 hewan dunia yang akan masuk syurga seperti yang telah tertulis dalam Syarah Qhishatu Al-Ma’arij halaman 6. Berikut keterangannya
قالو الدواب التي تدخل الجنة من دواب الدنيا عشرة البراق وناقة صالح وحمار العزير وعجل الخليل وكبش اسمعيل وهد هد سليمان ونملته وكلب اهل الكهف وحوت يونس وبقرة بني اسرائل 

“Telah berkata sebagian Ulama : Binatang yang akan masuk syurga dari binatang dunia ada 10; Buroq, Unta Nabi Shalih, Kudanya ‘Ujair, Sapi Nabi Ibrahim, Domba Nabi Ismail, Hud-hud Nabi Sulaiman, Semutnya Nabi Sulaiman, Anjing Ashhabul Kahfi, Paus Nabi Yunus, Sapinya Bani Israil”
Jadi binatang yang akan masuk syurga nanti ada 10, yakni:
1. Buraq
Walaupun Buraq asalnya dari syurga, namun tetap disebut hewan dunia karena telah merasakan hidup didunia. Buraq adalah hewan yang dijadikan tunggangan para Nabi salah satunya adalah Nabi Muhammad s.a.w. ketika Isra’ wal Mi’raj. 
Ciri-ciri buraq :
Ukurannya lebih tinggi dari himar dan lebih pendek dari unta
Kulitnya putih
Punya 2 sayap
Mata kanan ada lafadz Laa Ilaaha Illallah dan mata kirinya ada lafadz Muhammadur Rosulullah
2. Unta Nabi Shalih
Maksud dari Unta Nabi shalih itu bukan berarti untanya milik Nabi Shalih, namun unta tersebut hidup dijaman nabi shalih. Yakni ketika Nabi Shalih mengubah batu menjadi unta dan membolehkan kaumnya untuk memeras susunya namun jangan menyembelihnya. Namun kaumnya nabi shalih tidak mau taat terhadap kepada Nabi Shalih, sehingga unta tersebut disembelih kaumnya.
3. Kudanya ‘Ujair
‘Ujair adalah seorang laki2 yang tidur selama 100 tahun ditemani oleh seekor kuda, ketika terbangun kondisi desanya sudah berubah dan dipinggirnya terdapat tulang belulang seekor kuda yang ternyata itu adalah kudanya ‘Ujair yang setia menunggu sampai mati.
4. Sapi Nabi Ibrahim
Binatang keempat yang pasti masuk surga adalah anak sapinya Nabi Ibrahim As. Sapi tersebut hendak dihidangkan kepada tamu nabi Ibrahim yakni para malaikat yang membawa kabar kelahiran anak bagi Nabi Ibrahim yang bernama Ishak. 

Allah Ta’ala berfirman:  “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.”Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz Dzariyat: 24-30)

5. Domba Nabi Ismail
Domba ini berkenaan dengan kisah Nabi Ibrahim yang akan menyembelih putranya Nabi Ismail karena perintah Allah s.w.t. Allah sedang menguji keta’atan Nabi Ibrahim dan Ismail. Ketika menyembelih Nabi Ismail, pisau yang digunakan Nabi Ibrahim tidak mempan untuk menyembelihnya, sehingga Allah mengutus seekor Kibas (domba) dari langit untuk dijadikan hewan sembelihan.
6. Hud-hud Nabi Sulaiman
Hud-hud adalah hewan sejenis burung pelatuk yang depelihara oleh Nabi Sulaiman, sekaligus menjadi salah satu hewan peliharaan kesayangannya dan diberi tugas untuk menyampaikan surat kepada ratu Bilqis
7. Semut Nabi Sulaiman
Hewan selanjutnya yang juga pasti masuk ke dalam surga adalah semutnya Nabi Sulaiman As. Seperti yang diketahui beliau adalah nabi yang bisa berbicara pada binatang, salah satunya adalah semut. Semut ini pernah membuat Nabi Sulaiman kagum saat bertanya padannya beberapa pertanyaan. Pertanyaan beliau mengenai rezeki: "Wahai semut apakah engkau yakin ada makanan cukup untuk kamu?". Semut pun menjawab: "Rizki di tangan Allah, aku percaya rizki di tangan Allah, aku yakin di atas batu kering di padang pasir yang tandus ini ada rizki untukku."
8. Anjing Ashhabul Kahfi
Anjing yang menemani beberapa pemuda yang ingin menyelamatkan iman mereka dari rajanya yang kafir, mereka bersembunyi disana dan tertidur selama 309 tahun. Ketika bangun mereka melihat tulang belulang dimana tulang belulang itu adalah anjing milik mereka yang setia menunggu. Kondisi desa mereka berubah mereka mengetahui bahwa mereka tidur selama itu ketika mereka membeli makanan dengan uang yang mereka simpan sebelum tidur
9. Paus Nabi Yunus
Nab Yunus adalah Nabi yang pernah dimakan oleh seekor ikan paus selama 40 hari 40 malam, karena sebagai peringatan bagi Nabi Yunus yang meninggalkan kaumnya.
10. Sapinya Bani Israil
Yakni berkenaan dengan kisah Bani Israil yang diperintah Allah untuk menyembelih seekor sapi melalui Nabi Musa a.s. supaya kaum Bani Israil tidak lagi menganggap bahwa sapi itu hewan mulia dan dijadikan sebagai tuhan. Ketika diperintah seperti itu Bani Israil menanyakan berkali-kali tentang ciri-ciri sapi tersebut, mulai dari jenis kelamin, usia, warna bahkan sampai sapi yang tidak dipelihara dan tidak digunakan untuk membajak sawah. Sehingga sapi yang seperti itu sulit dicari, namun akhirnya Bani Israil bisa menembukan sapi seperti itu dan menjalankan perintah dari Allah.


Wallahu-a’lam

niat dalam mencari ilmu

Mencari Ilmu adalah kewajiban kita selaku umat Islam, saya juga telah mencoba menjelaskan Ilmu apa yang wajib kita cari kemarin. Bila yang belum baca sok silahkan klik disini supaya afdhol. Dalam hal mencari ilmu tentu kita juga harus berniat dalam mencari ilmu. Tujuan kita mencari ilmu itu untuk apa? Apakah untuk jadi juara kelas? Disayang ayah bunda? Untuk mencari kerja? Atau apa?.
Tentu setiap orang yang menuntut ilmu pasti mempunyai niat masing-masing. Namun sebenarnya dalam mencari ilmu harus ada niat-niat tertentu, dan larangan-larangan dalam niat mencari ilmu.
Nah saya disini akan memncoba berbagi ilmu tentang Niat Dalam mencari ilmu. Dalam kitab Ta’lim Al-muta’allim dijelaskan niat-niat yang harus ada pada sang pencari ilmu. Apa saja?
1.      رضا الله تعالى (Mencari Ridha Allah Ta’ala)
Niat yang pertama yang harus ada dalam sang pencari ilmu adalah niat karena untuk mencari Ridha Allah s.w.t. karena ilmu berasal dari Allah, jadi jika kita belajar tapi tidak diridhai Allah maka sia-sialah apa yang kita pelajari nantinya
2.      الدار الاخرة (Kebahagiaan Akhirat)
Yang kedua adalah niat untuk kebahagian diakhirat, kenapa kita harus niat demikian? karena hakikatnya kita hidup didunia ini cuma diibaratkan hanya menyeberangi jembatan artinya kita hanya sementara saja didunia ini dan akan kembali hidup diakhirat yang abadi. Jadi kita itu harus mencari ilmu untuk bekal masa depan kita nanti, dan masa depan kita bukan kita berkeluarga, punya anak, cucu ataupun yang lainnya. Tetapi masa depan kita adalah di akhirat, jadi itulah mengapa kita harus berniat demikian.
3.      ازالة الجهل عن نفسه وعن سائر الجهل (Menghilangkan Kebodohan Dari Diri Sendiri Dan Orang-orang Bodoh)
Nah untuk yang ketiga ini mungkin sering dijawab oleh kebanyakan pencari ilmu ketika ditanya untuk apa kamu belajar. Yaitu untuk Menghilangkan Kebodohan Dari Diri Sendiri Dan Orang-orang Bodoh. Sudah pasti kita belajar/ mencari ilmu untuk hal tersebut.
4.      احياء الدين (Menghidupkan Agama)
Niat yang keempat ini juga sangat penting yakni untuk menghidupkan agama, karena agama bakal terus hidup jika pemeluk-pemeluknya berilmu.
5.      ابقاء الإسلام (Menetapkan Agama Islam)
Maksudnya adalah kita belajar juga harus berniat untuk menetapkan agama Islam, artinya supaya islam itu ada bukan hanya namanya saja, tetapi juga harus ad buktinya. Orang-orang islamnya harus berilmu supaya kita tidak lagi diperbudak oleh kaum yahudi, nasrani ataupun kaum lainnya.
6.      الشكر على نكمة العقل و صحّة البدن (Bersyukur Terhadap Nikmat Akal Dan Kesehatan Badan)
Yang terakhir yaitu niat karena bersyukur terhadap nikmat akal dan kesehetan badan. Ini supaya menjadi tanda bahwa kita tidak menyia-nyiakan nikmat Allah s.w.t. kepada kita berupa akal dan kesehatan badan

Kalau ada yang harus diniati tentu juga ada larangannya juga kan? Dan ternyata memang ada larangan-larangan niat bagi para pencari ilmu. Apa saja?
1.      اقبال الناس (Diterima Manusia)
Larangan niat yang pertama bagi para pencari ilmu adalah untuk diterima manusia. Maksudnya mencari ilmu dengan niatan supaya menjadi orang yang terpandang, orang pintar dihapadan manusia, untuk sombong ataupun yang lainnya. Dan jika saja saja para pencari ilmu punya niatan seperti ini maka jangan harap Ridha Allah kita dapatkan. Namun mirisnya, para pelajar sekarang kebanyakan niat untuk hal seperti ini, termasuk saya dulu sebelum tau tentang niat belajar.
2.      استجلاب حطام الدنيا (Mencari Kenikmatan Dunia)
Jangan sekali-kali kita belajar dengan niatan untuk mencari kenikmatan dunia, seperti ingin jadi orang kaya, terkenal ataupun yang lainnya. Boleh-boleh saja jika kita punya cita-cita seperti ingin jadi orang kaya, terkenal, jadi dokter ataupun yang lainya. Tetapi yang tidak boleh itu kita belajar dengan niatan untuk hal seperti itu.
3.      الكرامة عند سلطان وغيره ( Mulia Dihadapan Penguasa Ataupun Penguasa Lainnya)
Niat ini ada persamaan dengan larangan niat yang pertama, namun bedanya ini berhubungan dengan para penguasa, seperti camat, bupati, gubernur atau orang-orang besar lainnya.
Intinya kita belajar itu harus diniati yang baik-baik saja, jangan niat yang buruk-buruk. Karena bila kita berniat yang buruk maka belajar kita yang seharusnya mendapat pahala yang besar malah mendapat madharat

ilmu yang harus dicari

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Seperti yang kita semua ketahui bahwa kita sebagai umat Islam wajib mencari ilmu dimanapun dan kapanpun. Karena sebuah Hadits Rasulullah s.a.w. yang sangat masyhur yakni
طلب العلم فريضة على كلّ مسلم ومسلمة
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan”
Namun yang kita harus ketahui Ilmu apa yang harus kita cari ? ilmu apa yang harus kita miliki? Disinilah permasalahannya. Kita hanya tau bahwa setiap muslim dan muslimat itu wajib mencari ilmu tp kita tidak mengetahui ilmu apa yang harus dicari.
Nah disini saya In Sya Allah akan mencoba membagikan ilmu yang saya ketahui tentang ilmu apa yang wajib kita cari selaku umat islam. Silahkan dibaca dengan teliti dan jangan terburu-buru karna kalau terburu-buru bisa menyebabkan galham (gagal faham).
Kita selaku umat islam harus mengetahui dan mempercayai ilmu Tauhid, seperti Ma’rifat Allah, Ma’rifat Sifat Allah dan sifat-sifat Rosulullah s.a.w.. Karna Firman Allah s.w.t
Sebetulnya kita tidak wajib mencari semua ilmu kepada setiap umat Muslim dan Muslimat, setapi diwajibkan terhadap umat islam untuk mencari ilmu Hal (tingkah). Nah jadi kita selaku umat islam hanya wajib mencari ilmu Hal. Karena ada perkataan:

افضل العلم علم الحال وافضل العمل حفظ الحال
“ilmu yang paling utama ilmu adalah ilmu hal, dan perbuatan yang paling utama adalah memelihara hal”

Apa itu ilmu hal? Sederhananya ilmu Hal yaitu ilmu yang dipakai sebagai tingkah laku/kegiatan dalam melaksanakan mualamalah agamanya.
Ilmu hal juga terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
   Ilmu hal yang wajib
Umat islam wajib mempelajari ilmu yang selalu dibutuhkan pada setiap saat. Misalkan ia wajib melakukan shalat, berarti ia juga wajib mempelajari ilmu shalat.
  Ilmu yang menjadi perantara kepada kewajiban
Wajib pula mengetahui ilmu-ilmu lain yang menjadi penghantar atau perantara kewajibannya, karena menjadi perantara pada perbuatan fardhu maka fardhu pula hukumnya; demikian pada perbuatan wajib, hukumnya juga wajib. Contohnya ialah wudlu. Asalnya mempelajari tentang wudlu itu tidak wajib karena wudlu bukan kewajiban. Namun dikarenakan wudlu menjadi perantara untuk melaksanakan ibadah yang wajib ( shalat , thawaf dll ) maka mempelajari wudlu wajib hukumnya karena menjad perantara.
   Ilmu hal sesuai kemampuan (kewajiban)
Maksudnya disini adalah mempelajari ilmu yang sesuai dengan kewajiban terhadap kita. Contohnya adalah puasa. Bila kita tidak mampu puasa maka kita tidak wajib mempelajari tentang ilmu puasa namun bila kita wajib melaksanakan puasa maka kita harus mempelajari ilmu puasa. Contohnya lagi adalah zakat. Bila kita tidak mampu (berkewajiban) untuk memberikan zakat maka kita tidak wajib mempelajari ilmu tentang zakat, begitu pula sebaliknya. Atau misalkan ilmu perdagangan. Jika kita dagang maka kita wajib mempelajari ilmu dagang dan sebaliknya
   Ilmu-ilmu lain sehubungan dengan muamalah dan berbagai jenis pekerjaan
Setiap orang yang mengerjakan muamalah atau menunaikan tugas kerjanya, adalah wajib mengetahui ilmu-ilmu tentang bagaimana cara menghindari perkara haram yang mungkin terjadi dalam muamalah atau perkerjaan tadi.
   Ilmu gerak hati (pembinaan budi)
Setiap muslim juga wajib mengetahui ilmu-ilmu gerak hati, karena ternyata ilmu tersebut selalu dibutuhkan pada setiap saat. Termasuk Tawakkal, Inabah (mengembalikan segala hal kepada Allah), Taqwa dan Rela Hati.

Intinya dari penjelasan saya saat ini bahwa kita harus mengetahui ilmu dari segala sesuatu yang kita kerjakan terutama dalam hal ibadah kepada Allah s.w.t.. Karena ada sebuah syair yang berbunyi:

وكل من بغير علم يعمل # اعماله مردودة لا تقبل
“dan setiap orang yang berbuat tanpa dengan ilmu # maka amalnya ditolak tidak diterima”
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته



keutamaan membaca surat at-taubah

Ayat 128-129 surat At-Taubah adalah salah satu ayat yang dimuliakan oleh Allah s.w.t. maka bagi orang yang membacanya akan memeperoleh keutamaan-keutaman dari Allah s.w.t. seperti yang saya akan tulis dalam  mendawamkan surat At-Taubah sayat 128-129kesempatan kali ini yaitu beberapa keutumaan.
                              بسم الله الرحمن الرحيم

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ. فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
  
Keterangan :
ومن داوم على قراءة هاتين الاتين سبع مرّات في دبر الصلوات المكتوبات ان كان ضعيفا قوى او ذليلا عزا اومغلوبا انتصر او معسرا يسّر الله تعالى فى كلّ أموره او مديونا قضّ دينه اومكروبا رفع عنه الهمّ والغمّ والحزن اومضيقا وسع عليه الرزق والخيرات او مغلوقا فتح عليه ابواب المغلوقات والكشوفات اومسجونا فداوم عليها احدى واربعين مرّة يخرج من سجنه بلطفه وكرمه وبركات الهاتين الاتين الجليلتين
Barang siapa yang mendawamkan (membaca terus menerus) dua ayat ini (At-Taubah: 128-129) 7 kali setelah shalat yang diwajibkan (shalat 5 waktu) maka :
  • ·         Jika dia lemah (fisik) maka akan kuat
  • ·         Jika dia terhina (tidak dihormati) maka akan mulia (terhormat)
  • ·         Jika dia selalu kalah (sial) maka akan tertolong
  • ·         Jika hidupnya yang sulit maka Allah mudahkan dalam setiap urusannya
  • ·        Jika mempunyai hutang maka Allah akan membayarkan hutangnya
  • ·        Allah akan mengangkat kesulitan darinya berupa sulit, bingung dan kesedihan
  • ·        Jika rizkinya sempit maka Allah akan meluaskan rizki dan kebaikan kepadanya
  • ·    Jika terkunci (terjebak) maka Allah akan membukakan macam – macam pintu yang tertutup (menolongnya)
  • ·  Yang mendawamkan ini 41 kali maka dia akan keluar dari penjara (jka ditawan/diculik) karena kelembutan Allah dan kemulianNya serat dengan keberkahan 2 ayat  ini yang mulia

Itulah sebagian keutaman membaca surat At-Taubah ayat 128-129, Ini diambil dari salah satu kitab do’a yang di karang oleh Ulama salaf terdahulu. Semua amalan atau do’a-do’a akan maqbul bila kita percaya dan yakin kepada Allah s.w.t, jadi jika kita tidak yakin terhadap keuataman diatas maka jangan berharap akan maqbul, dan bila Akhy atau ukhty tidak percaya pada amalan-amalan maka silahkan menutup halaman ini karena amalan itu bagi orang yang mau mendekatkan diri kepada Allah s.w.t.. Dan kita juga jangan putus asa jika belum merasakan keutaman diatas karna itu hanya ujian dari Allah terhadap kesabaran kita, dan diatas juga harus mendawamkan artinya harus terus menerus.
Dan tentu saja tidak akan maqbul jika kita tidak berusaha, artinya kita hanya mendawamkan tapi tidak ada usaha/kegiatan yang kita lakukan. Karena amalan hanyalah do’a supaya membantu mensukseskan suatu kegiatan. Dan jika kita berdo’a tapi tidak berusaha/bekerja maka itu bagaikan menegmudi perahu didaratan (sia-sia). Misalkan kita mau ujian sekolah kitab banyak berdoa kpd Allah tapi kita tidak pernah belajar maka sama saja. Jadi intinya doa/amalan dan usaha itu harus seimbang. Setelah itu barulah kita bertawakal kepada Allah s.w.t.
Alhamdulillah saya sendiri sudah mengamalkan amalan ini, dan Alhamudillah saya sudah merasakanNya yakni saya merasa sangat ringan menjalani hidup ini, dan tidak kebingungan ataupun kesusahan dalam melakukan apapun. Jadi bagi akhy atau ukhty yang mau mengamalkan maka terlebih dahulu ucapkan “qobiltu”. Bila sudah silahkan diamalkan.

Jangan sekali-kali kita mengaharapkan hasil diatas setelah membaca kedua ayat diatas, karena Alquran mempunyai banyak keutamaan-keuataman yang jauh lebih banyak dari keutamaan diatas. 

larangan bagi wanita yang haidh dan nifas

Pada kesempatan ini saya akan berbagi ilmu tentang larangan bagi wanita yang haid nifas. Perlu anda ketahui bahwa ada 8 perkara yang haram dilakukan perempuan ketika sedang haid dan nifas sedangkan untuk wanita yang sedang haid saja ada 10 namun saya akan menjelaskan larang kedua-duanya seperti keterangan dalam dalam  kitab kifayatul akhyar
{ويحرم بالحيض والنفاس ثمانية أشياء: الصلاة والصوم}
[Diharamkan sebab haid dan nifas delapan perkara, yaitu (1) shalat, (2) puasa]
Bagi wanita yang sedang haid, haram melakukan shalat. Demikian juga sujud tilawah dan sujud syukur. Karena sabda Rasulullah s.a.w.:
اذا اقبلت الحيض فدعى الصلاة

“jika datang darah haid, maka tinggalkanlah shalat”
(Al-Hadits)

Ijmak ulama telah sepakat terhadap keharaman ini. Dan wanita yang haidh tersebut juga tidak diwajibkan mengqhada’ shalatnya, karena ada Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. ‘Aisyah berkata :
كنّا نحيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلّم ثمّ نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
“Kita pernah haid disamping Rosulullah s.a.w, lalu kita suci. Maka kita diperintahkan untuk mengqhada puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqhada shalat”
Dari mahfhumnya Hadits ini pula, perempuan yang haid haram berpuasa disamping haramnya melakukan shalat. Ijmak Ulama juga telah sepakat atas keharaman melakukan puasa ini ketika dalam haid. Akan tetapi dia wajib mengqhada puasanya kemudian, sebagaimana yang dijelaskan didalam Hadisnya ‘Aisyah tadi.
Berkata syaikh Abu Syuja’:
{وقراءة القران ومسّ المصحف وحمله}
[(3) Membaca Alqur’an,(4) menyentuh mushhaf atau membawanya]
Dalil haramnya membaca Alquran ialah sabda Nabi Muhammad s.a.w. :
لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القران
“orang yang junub dan haidh tidak boleh membaca sebagian dari Al-qur’an”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi. Tetapi Hadis ini dha’if, sebagaimana tersebut dalam Syarah Al-Muhadzdzab.
Dalil haramnya menyentuh Al-Quran adalah firman Allah s.w.t. :
 tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
(Al-Waqi’ah: 79)
Dan Hadits Rasulullah s.a.w.:
لا يمسّ القران الاّ طاهر
“Tidak boleh menyentuh Alqur’an kecuali orang yang suci”
(Riwayat Ad-Daruquthni dari Ibni Umar r.a.)
Kalau menyentuh Alqur’an hukumnya haram, apalagi membawa Alquran. Kecuali jika Alquran itu ada di dalam barang bawaan, yang orangnya tidak sengaja membawa Alquran secara Khusus. Tapi kalau yang dimaksudkan membawanya itu Alquran, maka sekalipun membawanya barang-barang lain, hukumnya tetap haram. Demikian yang telah dipastikan oleh Imam Rafi’i.
Berkata syaikh Abu Syuja’:
{ودخول المسجد}
[(5) Masuk ke dalam masjid]
Masuknya perempuan yang sedang haidh kedalam masjid, jika dia maksud duduk didalamnya, atau berhenti walaupun dengan berdiri, atau berjalan kesana kemari, hukumnya haram. Sebab orang yang junub saja sudah haram masuk kedalam masjid. Apalagi orang yang haidh, tentu tidak ada keraguan lagi bahwa itu lebih mengkhawatirkan daripada orang junub.
Pokok perbedaannya, bahwa jika wanita haidh  itu tidak lagi khawatir mengotori masjid, sebab dia sudah bercawat dan memakai pembalut farji. Tapi jika dia khawatir mengotori masjid, haram hukumnya masuk kedalam masjid tanpa ada khilaf.
Imam Rafi’i dan lain-lainnya mengatakan: Hukum seperti ini tidak khusus dalam masalah haidh saja, malahan masalah-masalah lainpun demikian juga, seperti orang beser (sebentarsebentar mau kencing) atau mempunyai luka yang darahnya terus merembus keluar dikhawatirkan mengotori masjid, maka itupun haram lewat didalam masjid.
Andaikata orang hendak masuk kedalam masjid dengan membawa sandal yang ada najisnya, dan dikhawatirkan najisnya itu menetes didalam masjid, maka seharusnya sandalnya itu dikesatkan dulu baru boleh masuk ke masjid. Mengkesatkan ini hukumnya wajib dan haram ditinggalkan.
Berkata syaikh Abu Syuja’:
{والطواف}
[(6) thawaf]
Artinya, wanita yang sedang haidh atau nifas haram melakukan thawaf. Karna dabdan Nabi Muhammad s.a.w. kepada ‘Aisyah pada waktu ‘Aisyah haidh saat  menjalankan Ibadah haji.
افعلى ما يفعل الحاجّ غير ان لا تطوفي بالبيت حتّى تطهرى
“Kerjakanlah apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang yang haji kecuali thawaf di Baitullah, sampai saatnya kamu suci”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun lafadznya Hadis ini menggunakan lafadznya Imam Bukhari.
Berdasarkan hadits ini, semua Imam empat bersepakat bahwa wanita yang haidh atau nifas haram melakukan thawaf. Dan disini saya tambahkan pula didalam bab haji, bahwa andaikata wanita yang haidh itu melanggar dan memaksa melakukan thawaf rukun (yaitu thawaf ifadhah), maka tidak sah thawafnya. Dan pelanggaran ini harus ditebus dengan membayar dam menurut selain Imam hanafi, dan dia harus tetap dalam pakaian Ihramnya.
Menurut Imam Hanafi, sah thawafnya. Dan dia wajib menyemebelih unta satu ekor. Tetapi sa’inya yang dilakukan setelah thawaf, tidak sah, dan boleh ditebus dengan seekor kambing.
Al-Mughrirah (pengikut madzhab Maliki) berkata: Tawaf itu tidak disyaratkan harus suci karena suci itu hanyalah perkara sunnat. Kalau orang itu melakukan thawaf dengan menanggung hadas kecil, dia wajib membayar dengan membayar seekor kambing. Dan apabila dia melakukan thawaf dengan menanggung hadas besar yakni junub, dia wajib membayar seekounta.
{والوطء والإستمتاع فيما بين السرّة والركبة}
[(7)Wathi’, yakni bersetubuh dan (8) berusaha mendapatkan kenikmatan tubuh antara pusat dan lutut]
Dalilnya yaitu Firman Allah s.w.t.:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Jauhilah wanita-wanita pada waktu haidh”
(Al-Baqarah: 222)
Abdullah bin Mas’ud berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai apa saja yang halal saya peroleh dari istri saya yang dalam keadaan haidh. Rasulullah s.a.w. menjawab:
لك ما فوق الإزار
“Kamu boleh menikmati apa saja diluar kain sarungnya”
Hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan beliau tidak menganggap dha’if hadits ini. Berarti hadits ini hadits hasan.
Diriwayatkan kepada ‘Aisyah r.a.:
انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كان يأمر احدانا اذا كانت حائضا ان تأتزر ويباشرها فوق الازاز
“Bahwa Rasulullah s.a.w. memrintahkan kepada kita kaum wanita apabil haidh hendaknya mengenakan tappih (kain panjang yang dipakai oleh perempuan), dan boleh suaminya bersentuh dengannya diluar tapih”
Imam Muslim juga meriwayatkan Hadits seperti di atas dari maimunah, isteri nabi Muhammad s.a.w. Adapun illat atau penyebab keharamannya ialah karena apa yang ada didalam tapih itu adalah daerah terlarangnya farji. Padahal Rasulullah s.a.w. sudah pernah bersabda:
من حام حول الحمى يوشك ان يرتع فيه
“Barangsiapa menggembalakan hewannya disekitar daerah terlarang, sebentar saja pasti akan masuk kedalamnya”
Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan itu hanya wahti’ saja. Demikian ini adalah pendapatnya Imam syafi’I di dalam qaul qadim. Dalilnya yaiitu yang diriwayatkan oleh Anas, bahwa orang-orang Yahudi, jika isteri-isterinya sedang haidh, mereka tidak mau menemani mereka makan dan tidak mau bergaul dengan mereka dirumah. Lalu para shahabat menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. Maka turunlah ayat Alquran yang berbunyi:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Singkirilah perempuan-perempuan itu pada waktu haidh”
(Al-Baqarah: 222)
Oleh yang demikian maka Rasulullah s.a.w.:
اصنعوا كلّ شيئ الاّ النكاحلا
“kamu boleh lakukan apa saja kecuali nikah (jimak).
(Riwayat Muslim)
Di dalam Syarah Almuhadzdzab Imam Nawawi berkata: Qaul ini lebih kuat dalilnya, oleh sebab itu berhaklah ia dipilih. Demikian pula didalam kitab At-Tahqiq dan pada kitab Syarah At-Tanbih dan Al-Wasith, Imam Nawawi memilih qaul ini.
Jadi menurut qaul yang pertama, apakah boleh menikmati bagian pusat dan lutut wanita yang sedang haidh; atau menikmati bagian yang setentang dengannya? Imam Nawawi berkata: Tidak pernah aku melihat penukilan dari Ulama mazhab kita sehubungan dengan masalah ini. Tetapi meurut qaul yang dipilih, boleh dilakukan semua itu. Wallahu-a’lam.
Al-Asna’i berkata: Para Ulama Mazhab Syafi’i tidak mengambil keputusan mengenai hukumnya perempuan haidh menyentuh laki-laki. Menurut kiasnya, hukum wanita haidh itu sama dengan hukum laki-laki. Jadi memegang zakarnya laki-laki itu haram bagi dia.
Ketahuilah, bahwa seandainya ada laki-laki melanggar dan bersenang-senang dengan isterinya yang sedang haidh, selain jimak, orang tersebut tidak berkewajiban apa-apa tanpa ada khilaf. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab. Akan tetapi jika laki-laki itu menjimak isterinya yang sedang haidh dengan sengaja dan tahu hukumnya, dia telah melakukan dosa besar. Demikian apa yang telah dinukil oleh Imam Nawawi dari Imam Syafi’i didalam Ar-Raudhah. Menurut qaul jadid, orang tersebut tidak wajib membayar denda. Dia cukup meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dengan taubat yang baik. Tetapi jika dia menjimak isterinya saat datangnya darah, yaitu saat permulaan dan saat gencar-gencarnya, disunnatkan bersedekah satu dinar. Dan kalau menjimaknya saat darah muali turun dan melemah, disunnatkan bersededah setengah dinar.
Ad-Dawudi menukil dari nashnya Imam Syafi’i dalam qaul jadid, bahwa sedekah seperti itu hukumnya wajib. Ini adalah faedah yang sangat penting.
Menurut kedua qaul  di atas, tidak wajib mengeluarkan apa-apapun bagi wanita yang dijimak, dan bioleh memberikan dinar tersebut kepada satu orang saja. Wallahu-a’lam.
Cabang permasalahan
Andaikata seorang isteri mengaku sedang haidh, dan suaminya tidak menaruh curiga terhadap isterinya, haram dia menjimak isterinya. Tetapi jika suamiinya mendustakan pengakuan isterinya itu, tidak haram dia menjimaknya.
Andaikata suami isteri telah telah sependapat mengenai haidhnya, tetapi mereka berselisih soal keputusan darah haidh, maka ucapan yang diterima adlah ucapan isterinya. Demikian kata Imam Nawawi didalam Syarah Al-Muhadzdzab. Wallahu-a’lam.
Perlu diketahui bahwa keharaman bersenang-senang dengan isteri waktu sedang haidh, berlangsungnya sampai terputusnya darah haidh itu dan mandi. Karena Firman Allah s.w.t.:
حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“.....sehingga wanita-wanita itu suci. Kemudian apabila mereka telah suci, maka datangilah (campurilah) mereka menurut apa yang diperintah Allah.”
(Al-Baqarah: 222)

Disini tidak dibedakan antara mandinya perempuan muslimah dan perempuan dzimmiyah. Jadi sumpama perempuan dzimmiyah itu masuk Islam, kemudian mandi, ia wajib mengulangi mandinya lagi menurut qaul yang shahih. Wallahu-a’lam.

bagaimana niat dalam wudhu

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
kali ini saya akan menjelaskan tentang bagaimana niat didalam wudlu, tentunya ini merupakan sesuatu hal yang penting, karna kalau kita tidak tahu cara niat dalam wudlu maka niatnya tidak sah, begitu juga wudlunya dan sholatnya, thawaf dll. 
keterangan ini saya ambil dari kitab terjemah Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin yang menjelaskan
Niat dalam wudhu hukumnya fardu dalam bersuci dari hadats, tetapi tidak wajib dalam menghilangkan najis, menurut qaul (pendapat) yang shahih. tujuan mencuci najis yaitu menghilangkan najis. Menghilangkan najis itu bisa berhasil dengan jalan membasuhnya ; beda dengan hadats. Bersuci dari hadats itu IBADAH. Jadi membutuhkan niat seperti pada ibadah-ibadah lain. Demikian kata Imam Rafi’i
Syarat sahnya niat ialah islam. Jadi tidak dianggap sah wudhunyaorang kafir dan mandinya, sebab niat itu ibadah, sedangkan orang kafir itu bukan ahli ibadah. Bersucinya orang murtad juga tidak sah. Tanpa ada khilaf, yaitu untuk memberatkan hukum ke atas orang yang murtad.
Waktunya niat yang diwajibkan ialah ketika pertama kali membasuh sebagian dari wajah atau muka. Sebab membasuh merupakan permulaan ibadah yang wajib (fardu). Orang tidak diberi pahala atas sunnat-sunnat sebelumnya.
Cara berniat orang yang sehat (tidak berpenyakit), hendaknya berniat dengan salah satu dari tiga perkara ini. Yaitu :
o   Niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats
o   Niat agar diperbolehkan mengerjakan shalat atau lainnya yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan bersuci
o   Niat fardhunya wudhu atau niat menjalankan kewajiban berwudhu. Walaupun orangnya masih kecil (anak-anak).
Imam Nawawi berkata didalam Syarah Al-muhadzdzab : Andaikata orang tersebut berniat “bersuci untuk shalat” atau “bersuci untuk selain shalat” yaitu segala sesuatu bergantung pada wudhu, wudhunya sudah cukup. Demikian ini diterangkan juga dalam kitab At-Tanbih.
Andaikata orang berniat “bersuci” saja, tidak mengatakn “bersuci dari hadas”, menurut qaul yang shahih wudhunya tidak mencukupi. Sebab bersuci itu ada kalanya dari hadas dan ada kalanya dari najis. Jadi harus ada niat membedakan.
Andaikata orang yang hanya berniat wudhu saja, sah wudhunya menurut qaul  yang ashah, tersebut didalam kitab At-Tahqiq dan syarah Al-Muhadzdzab. Lain dengan orang yang mandi janabah, berniat dengan hanya “mandi” saja, tidak cukup mandinya. Al-Mawardi memebedakan antara wudhu dan mandi. Kalau wudhu tidak ada yang berlaku selain ibadah. Tidak seperti mandi. Andaikata orang itu berniat “menghilangkan hadas” dan untuk “membolehkan segala yang menghalang” maka niat yang demikian itu adalah niat yang boleh mencakup segala-galanya.
Kalau orangnya berpenyakit, seperti orang yang mempunyai penyakit terus menerus kencing, atau perempuan mustahadhah, kalau berwudhu niatnya ialah untuk membolehkan segala yang menghalang menurut qaul yang shahihTidak sah jika ia(orang yang sakit) berniat menghilangkan hadats, sebab hadats orang tersebut terus-menerus dan tidak pernah hilang. Ada yang mengatakan : wajib mengumpulkan antara niat menghilangkan hadats dan niat untuk membolehkan segala yang menghalang. Ada juga yang mengatakan cukuplah berniat dengan salah satunya.
Cabang permasalahan
Syaratnya niat supaya dianggap sah, yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya ragu-ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, kemudian ia berwudhu karena untuk berhati-hati, setelah itu ia yakin dia sudah berhadats, maka wuduhunya tidak dianggap sah menurut qaul yamg ashah. Sebab orang tersebut berwudhu dalam keadaan hatinya ragu-ragu.
Andaikata orang itu yakin bahwa dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah ia sudah bersuci atau belum, kemudian sesudah berwudhu ternyata ia dalam keadaan berhadats maka wudhunya sah tanpa ada Khilaf. Sebab yang asal adalah dikira tetatpnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya yang disertai dengan tetapnya hadats itu. Dan kecendrungan niat masih tetap kuat terhadap asal yaitu hadas. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallahu-a’lam
Cabang permasalahan
Andaikata orang itu berwudhu, lalu ada bagian sedikit yang diterlupakan pada basuhan yang pertama, kemudian pada basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang sedikit itu ikut terbasuh, maka wudhunya orang tersebut sah menurut qaul yang shahih. lain kalu bagian ynag sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbaharui wudhu, maka menurut qaul yang shahih, tidak mencukupi wudhunya.

Perebedaan pada kedua masalah ini, yaitu kalau berniat tajdid (memperbaharui wudhu), itu tidak mengandung niat fardhu. Lain dengan basuhan kedua atau ketiga, niat fardhunya wudhu boleh mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhu itu belum sempurna pada basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah basuhan yang kedua atau ketiga. Masalah kesalahan dalam beri’tikad tidak membahayakan. Buktinya, andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud pada rakaat yang pertama karena lupa, dan pda rakaat kedua dia bersujud lagi, maka barulah sempurna rakaat yang pertama dengan sujud kedua itu, walaupun ia sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia kerjakan. Wallahu-a’lam
Demikian penjelasan tentang bagaimana niat dalam wudhu dalam kitab terjemah Kifayatul Akhyar karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini
Bila ada yang ditanyakan mohon isi dikomentar, dan jangan lupa ikuti blog saya supaya kalian semua bisa mendapat pemberitahuan jika saya sudah ada postingan terbaru.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

rukun wudhu

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kali ini saya akan menjelaskan tentang wudhu menurut kitab terjemah Kifayatul Akhyatr karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini. Silahkan dibaca dengan teliti!
WUDHU
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{فصل : وفرائض الوضوء ستّة النّية عند غسل الوجه}
[fardhunya wudhu ada enam: pertama: Niat, sewaktu membasuh muka]
Ketahuilah, didalam berwudhu itu terdapat beberpa syarat dan fardhu. Syarat-syaratnya berwudhu ialah islam, pandai atau cerdik (mumayyiz), airnya suci mensucikan, tdaim ada mani’ (sesuatu yang mengahalang-halangi atau yang mencegah) yang dapat dilihat, misalnya berupa kotoran, atau mani’ syar’iy seperti haidh dan nifas, dan sudah masuk pada waktunya bagi orang yang dalam keadaan dharurat, seperti perempuan mustahadhah dan yang kentutnya terus menerus.
Adapun fardhunya wudhu ada enam, seperti telah disebutkan oleh pengarang diatas. Fardhunya wudhu yang pertama yaitu: Niat. Sebab sabda nabi Muhammad s.a.w :
انّما الاعمال بالنيّات
segala amal itu tidak sah, jika tidak dengan niat”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Niat ini hukumnya fardu dalam bersuci dari hadats, tetapi tidak wajib dalam menghilangkan najis, menurut qaul (pendapat) yang shahih. tujuan mencuci najis yaitu menghilangkan najis. Menghilangkan najis itu bisa berhasil dengan jalan membasuhnya ; beda dengan hadats. Bersuci dari hadats itu IBADAH. Jadi membutuhkan niat seperti pada ibadah-ibadah lain. Demikian kata Imam Rafi’i
Syarat sahnya niat ialah islam. Jadi tidak dianggap sah wudhunyaorang kafir dan mandinya, sebab niat itu ibadah, sedangkan orang kafir itu bukan ahli ibadah. Bersucinya orang murtad juga tidak sah. Tanpa ada khilaf, yaitu untuk memberatkan hukum ke atas orang yang murtad.
Waktunya niat yang diwajibkan ialah ketika pertama kali membasuh sebagian dari wajah atau muka. Sebab membasuh merupakan permulaan ibadah yang wajib (fardu). Orang tidak diberi pahala atas sunnat-sunnat sebelumnya.
Cara berniat orang yang sehat (tidak berpenyakit), hendaknya berniat dengan salah satu dari tiga perkara ini. Yaitu :
o   Niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats
o   Niat agar diperbolehkan mengerjakan shalat atau lainnya yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan bersuci
o   Niat fardhunya wudhu atau niat menjalankan kewajiban berwudhu. Walaupun orangnya masih kecil (anak-anak).
Imam Nawawi berkata didalam Syarah Al-muhadzdzabi : Andaikata orang tersebut berniat “bersuci untuk shalat” atau “bersuci untuk selain shalat” yaitu segala sesuatu bergantung pada wudhu, wudhunya sudah cukup. Demikian ini diterangkan juga dalam kitab At-Tanbih.
Andaikata orang berniat “bersuci” saja, tidak mengatakn “bersuci dari hadas”, menurut qaul yang shahih wudhunya tidak mencukupi. Sebab bersuci itu ada kalanya dari hadas dan ada kalanya dari najis. Jadi harus ada niat membedakan.
Andaikata orang yang hanya berniat wudhu saja, sah wudhunya menurut qaul  yang ashah, tersebut didalam kitab At-Tahqiq dan syarah Al-Muhadzdzab. Lain dengan orang yang mandi janabah, berniat dengan hanya “mandi” saja, tidak cukup mandinya. Al-Mawardi memebedakan antara wudhu dan mandi. Kalau wudhu tidak ada yang berlaku selain ibadah. Tidak seperti mandi. Andaikata orang itu berniat “menghilangkan hadas” dan untuk “membolehkan segala yang menghalang” maka niat yang demikian itu adalah niat yang boleh mencakup segala-galanya.
Kalau orangnya berpenyakit, seperti orang yang mempunyai penyakit terus menerus kencing, atau perempuan mustahadhah, kalau berwudhu niatnya ialah untuk membolehkan segala yang menghalang menurut qaul yang shahihTidak sah jika ia(orang yang sakit) berniat menghilangkan hadats, sebab hadats orang tersebut terus-menerus dan tidak pernah hilang. Ada yang mengatakan : wajib mengumpulkan antara niat menghilangkan hadats dan niat untuk membolehkan segala yang menghalang. Ada juga yang mengatakan cukuplah berniat dengan salah satunya.
Cabang permasalahan
Syaratnya niat supaya dianggap sah, yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya ragu-ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, kemudian ia berwudhu karena untuk berhati-hati, setelah itu ia yakin dia sudah berhadats, maka wuduhunya tidak dianggap sah menurut qaul yamg ashah. Sebab orang tersebut berwudhu dalam keadaan hatinya ragu-ragu.
Andaikata orang itu yakin bahwa dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah ia sudah bersuci atau belum, kemudian sesudah berwudhu ternyata ia dalam keadaan berhadats maka wudhunya sah tanpa ada Khilaf. Sebab yang asal adalah dikira tetatpnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya yang disertai dengan tetapnya hadats itu. Dan kecendrungan niat masih tetap kuat terhadap asal yaitu hadas. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallahu-a’lam
Cabang permasalahan
Andaikata orang itu berwudhu, lalu ada bagian sedikit yang diterlupakan pada basuhan yang pertama, kemudian pada basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang sedikit itu ikut terbasuh, maka wudhunya orang tersebut sah menurut qaul yang shahih. lain kalu bagian ynag sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbaharui wudhu, maka menurut qaul yang shahih, tidak mencukupi wudhunya.
Perebedaan pada kedua masalah ini, yaitu kalau berniat tajdid (memperbaharui wudhu), itu tidak mengandung niat fardhu. Lain dengan basuhan kedua atau ketiga, niat fardhunya wudhu boleh mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhu itu belum sempurna pada basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah basuhan yang kedua atau ketiga. Masalah kesalahan dalam beri’tikad tidak membahayakan. Buktinya, andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud pada rakaat yang pertama karena lupa, dan pda rakaat kedua dia bersujud lagi, maka barulah sempurna rakaat yang pertama dengan sujud kedua itu, walaupun ia sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia kerjakan. Wallahu-a’lam
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{وغسل الوجه}
[Kedua: membasuh muka (wajah)].
Membasuh muka adalah permulaan rukun wudhu yang jelas (tampak dimata). Allah s.w.t berfirman :
                    إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu.”
(Al-Maidah: 6)
Dalam membasuh muka, diwajibkan meratakan air. Batas-batas muka ialah mulai dari permulaan bidang dahi hingga ujung dagu untuk ukuran panjang muka. Dan mulai dari telinga yang satu sampai telinga yang lain untuk ukuran lebarnya. Tempat mengerik rambut yang ada dikanan kiri dahi tidak termasuk muka. Kedua pelipis tidak termasuk muka menurut qaul yang shahih, tersebut dalam kitab Syarah Ar-Raudhah. Namun imam Rafi’i didalam kitab Al-Muharrar merajihkan adanya pelipis dua itu termasuk bagian dari muka (wajah).
Kemudian, rambut yang tumbuh pada wajah itu ada dua macam :
o   Rambut yang tidak keluar dari perbatasan wajah.
o   Rambut yang keluar dari perbatasan wajah.
Rambut yang tidak keluar dari perbatasan muka, ada kalanya yang langka tebalnya dan ada kalanya yang tidak  langka tebalnya. Rambut yang langka tebalnya seperti rambut alis (kanan dan kiri), lalu bulu mata, kumis (kanan kiri), dan rambut yang tumbuh pada kedua belah pipi bagian tepi, yaitu yang berhadapan dengan kedua belah telinga, antar pelipis dan rambut cambang. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh semua, luar dan dalamnya menyertakan kulit yang dibawahnya, walaupun lebat. Sebab semua rambut tersebut termasuk bagian dari wajah (muka).
Rambut cambang, jika jarang (tidak lebat), kedua-duanya wajib dibasuh, luar dan dalamnya beserta kulitnya. Dan jika tebal (lebat), wajib dibasuh luarnya saja menurut qaul yang azhhar.
 Andaikata sebagian dari rambut cambang itu dan yang sebagian lagia tebal, menurut qaul yang rajah, rambut yang jarang hukumnya sama seperti hukum rambut yang semaunya jarang, dan rambut yang tebal hukumnya sama seperti hukum rambut yang semuanya lebat. Ukuran mengenai tebal dan jarangnya rambut ada khilaf. Yang shahih yaitu: rambut jarang ialah rambut yang kulitnya dapat dilihat dalam majlis omong-omong (perbicaraan). Rambut tebal ialah rambut yang tiada kelihatan oleh pandangan mata pada kulit yang ditumbuhinya.
Macam rambut kedua ialah rambut yang keluar dari batas wajah, yaitu rambut jenggot, rambut cambang, rambut kepala, rambut yang tumbuh ditepi pipi (di hadapan telinga), dan rambut pucuknya kumis, yang memanjang maupun melebar. Menurut qaul  yang rajih, wajib membasuh luarnya saja. Sebab dengan membasuh luarnya saja sudah boleh digunakan untuk bertatap muka dengan orang lain. Ada yang mengatakan: Tidak diwajibkan membaushnya, sebab rambut-rambut tersebut sudah keluar dari batas-batas wajah.
Imam Nawawi didalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah berkata : Wajib membasuh sebagian dari kepala, leher dan bawah dagu bersamaan dengan membasuh mukanya. Maksudnya agar nyata pemerataan airnya. Andaikata seseorang dipotong hidungnya atau mulutnya, ia wajib membasuh aoa yang kelihatan dari bekas pemotongan itu, sama ada dalam berwudhu ataupun mandinya, menurut qaul yang shahih. Sebab apa yang tampak itu telah berubah menjadi bagian luarnya wajah. Juga wajib membasuh apa yang tampak kemerah-merahan pada kedua bibirnya. Dan disunnatkan hendaknya mengambil air untuk wudhu dengan kedua-dua belah tangan.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{وغسل اليدين مع المرفقين}
Ketiga : membasuh kedua tangan beserta sikunya ]
Sebab firman Allah Ta’ala :
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua tanganmu beserta sikunya”
(Al-Maidah: 6)
Lafadz Ilaa itu ada yang menggunakan arti mushahabah (serta), seperti lafadz ilaa yang terdapat dalam firman Allah:
مَنْ اَنْصَارِى إِلَى اللهِ
“siapakah yang akan jadi para penolongku beserta Allah”
(Ali Imran: 52)
Dalik bahwa Ilaa diatas menggunakan arti mushahabah (serta), yaitu Hadits yang diriwayatkan sahabat Jabir r.a. Beliau berkata:
رايت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يدير الماء على المرافق
 “Aku pernah melihat Rasulullah s.a.w. memutar-mutarkan air pada siku tangannya.”
Hadits ini diceritakan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan dua orang ini tidak menganggap dha’if pada hadits diatas. Dan diberitakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah memutar-mutarkan air pada siku tangannya dan bersabda: inilah Wudhu, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhu seperti ini.
Orang berwudhu wajib meratakan air keseluruh rambut dan kulit, sehingga sekiranya dibawah kukunya terdapat kotoran yang boleh mengahalang-halangi sampainya air pada kulit itu, maka wudhunya tidak sah. Dan shalatnya menjadi batal karenanya. Wallahu-a’lam.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{ومسح بعض الرأس}
[Keempat: Mengusap sebagian kepala]
Sebab firman Allah s.w.t. :
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Hendaklah kamu mengusap kepalamu”
(Al-Maidah: 6)
Yang dimaksud ayat ini, bukannya mengusap keseluruhan kepala. Sebab sebuha hadits yang diberitakan dari shahabat Al-Mughirah r.a. bahwa Rasulullahn s.a.w pernah berwudhu dengan mengusap ubun-ubunnya serta sorban dan kedua muzahnya (semacam sepatu tinggi). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Lain dari pada itu, oarng yang melakukan tangannya diatas kepala anak yatim, boleh juga dikatakan: Mengusap kepalanya.
Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban dalam berwudhuk ialah apa saja yang boleh disebut mashi (mengusap), walaupun hanya sebagian dari sehelai rambut atau sekedar tempat rambut pada kulit kepalanya. Adapun syaratnya rambut yang diusap, haruslah rambut yang tidak keluar dari batas kepala seandainya orang tersebut memanjangkan rambutnya karena keriting.
Menurut qaul yang shahih, tidak mengapa andaikata rambut yang dipanjangkan itu melewati batas kepala. Andaikata orang itu membasuh kepala sebagai ganti mengusap kepala, atau memercikan air di kepala tadi tetapi airnya tidak mengalir, atau meletakkan tangannya yang sudah ada airnya tetapi tidak menjalakan tangannya, amaka mencukupilah wudhunya menurut qaul yang shahih.
Imam Nawawi didalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah berkata: mengusap kepala tidak semestinya menggunakan tangan. Akan tetapi boleh menggunakan kayu atau sobekan kain dan lain-lain. Andaikata orang lain yang mengusap kepalanya, sudah cukup. Orang perempuan dalam masalah mengusap kepala ini, sama dengan orang laki-laki.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{والخامس غسل الرجلين مع الكعبيمن}
[Kelima: membasuh kedua kaki beserta mata kaki]
Sebab firman Allah s.w.t. :
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(Al-Maidah: 6)

Kalau menurut Qiraah yang membaca nashab lafadz ‘arjula’, kewajiban membasuh kaki sudah nyata. Takdirnya : Waghsiluu arjulak . Kalau menurut Qiraah yang membaca jar ‘arjulikum’, maka sunnat Rasulullah s.a.w. telah menunjukan kewajiban membasuh. Andaikata mengusap kaki diperbolehkan, tentu Rasulullah s.a.w sudah menerangkan, walaupun hanya sekali sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi pada selain kedua kakin ini.
Imam Nawawi didalam Syarah Muslim berkata : Para ulama sudah sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan kedua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak menonjol diantara betis dan telapak kaki, dan pada tiap-tiap sebelah kaki terdapat kedua mata kaki. Orang-orang dari golongan Rafidhah (Syi’ah sesat ) telah menyimpang dari maksudnya ayat ini, semoga Allah Ta’ala mengeji pendapat golongan Rafidhah itu. Mereka (Rafidhah) mengatakan :  Pada setiap kaki terdapat hanya satu mata kaki, yaitu tulang yang terdapat pada punggung telapak kaki. Demikian ini telah diberitakan dari Muhammad bin Hasan. Akan tetapi ini tidak benar. Hujjah yang digunakan para Ulama yang menetapkan bahwa pada setiap kaki terdapat dua mata kaki, ialah apa yang mereka nukil dari Ulama Ahli Lughat (bahasa) dan Ahli ilmu Itsyiqaq. Hadist shahih yang kita bahas disini juga telah menunjukan bahwa pada setiap sebelah kaki terdapat dua mata kaki. Sebab didalam Hadits tersebut ada kata-kata.
فغسل رجله اليمنى الى الكعبين , ورجله اليسرى كذلك
“Lalu beliau membasuh kakinya yang kanan hingga kedua mata kaki dan begitu juga beliau membasuh kakinya yang kiri.”
Jadi Hadits ini telah menetapkan dua mata kaki pada setiap kaki.
Aku (Imam Taqiyuddin) hendak katakan : hadistnya An-nu’man bin Basyir r.a. sudah jelas mengandung arti bahwa setiap kaki terdapat dua mata kaki. An-nu’man berkata: Rasulullah mengatakan kepada kita:
أقيموا فرايت الرجل منّا يلصق منكبه بمنكب صاحبه وكعبه بكعبه
“Rapikan barisanmu! Lalu aku melihat setiap seorang diantara kita  merapatkan bahunya pad bahu temannya, dan merapatkan mata kakinya pada mata kaki temannya.”
(Riwayat Bukhari)
Sudah maklum bahwa yang dimaksud Hadits tersebut ialah mata kaki yang berupa tulang persendian kaki. Dan tidak cocok, kalau mata kaki di situ adadlah mata kaki yang terdapat pada punggung telapak kaki. Wallahu-a’lam.
Dan ketahuilah, bahwa membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki itu wajib, jika orangnya tidak bermaksud mengusap muzah (semacam sepatu). Bacaan jar pada lafadz ‘arjulikum’, itu barangkali diperuntukan bagi orang yang mengusap muzahnya. Orang yang berwudhu wajib membasuh seluruh kedua kakinya dengan air. Dan air tersebut juga harus merata kesemua kulit dan rambut, sehingga wajib pula membasuh kulit yang pecah-pecah.
Andaikata orang yang meletakan lilin atau pacar di celah-celah kulit kaki yang pecah pecah itu, maka wudhunya tidak sah, dan shalatnya juga tidak sah. Jadi lilin dan pacar itu harus dihilangkan dahulu. Demikian juga harus menghilangkan tahi nyamuk manakala orang itu bangun dari tidurnya. Maka dari itu, hendaklah orang mau menjaga hal-hal yang seumpama tahi nyamuk tersebut. Jadi andaikata oarang itu berwudhu lalu lupa menghilangkan tahi nyamuk itu, dan baru diketahuinnya sesudah berwudhuk, maka ia wajib mencuci tempat tahi itu dan kembali mencuci anggota sesudahnya lagi. Dan wajib pula mengulangi shalatnya. Wallahu-a’lam.
Cabang permasalahan
Andaikata ada orang yang berkumpul padanya hadas kecil, Yaitu wudhu dan hadas besar, yitu mandi, maka ada khilaf yang tersebar diantara para ulama, dan qaul yang shahih dan sudah difatwakan, cukup membasuh (mandi) seluruh tubuhnya dengan niat mandi. Tidak wajib mengumpulkan wudhunya dan mandinya, dan tidak pula wajib tertib dalam wudhu dan mandinya.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{والترتيب على ما ذكرناه}
[Keenam : ialah tertib].
Kefardhuan tertib ini juga diambail dari ayat Al-Qur’an, yaitu apabila kita dikatakn wawnya lafadz yang di‘athafkan tersebut bermakna tertib. Dan apabila tidak, maka kefardhuan tertib diambil dari perbuatan dan sabda Rasulullah s.a.w. Sebab tidak pernag terdengar oleh kita, melainkan wudhunya Nabi pasti dengan cara tertib.
Selain dari pad itu, Rasulullah s.a.w pernah bersabda seusainya dari wudhu:
هذا وضوء لا يقبل الله الصلاة الاّ به
“inilah wudhu, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhu yang seperti ini.”
(Riwayat Bukhari)
Lain dari pad itu, wudhu itu termasuk ibadah yang apabila dalam keadaan uzur, dikembalikan pada separuhnya (yaitu tayammum). Jadi dalam wudhu, diwajibkan tertib sebagaimana dalam shalat. Maka seandainya orang yang berwudhu lupa menjalankan tertib, wudhunya tidak sah, sebagaimana halnya kalau lupa membaca Al-Fatihah di dalam shalat atau lupa bahwa ada najis pad aatubuhnya.
 Cabang permasalahan
Seseorang yang selalu mengeluarkan sesuatu yang basah, dan yang basah itu mungkin saja air mani dan mungkin saja air madzi, dan orang itu tidak tahu persis apa itu air mani atau madzi. Apa yang menjadi kewajiban orang tersebut ? Ada khilaf  yang tersebar diantara para ulama. Khilaf ini sudah saya (Imam taqiyuddin ) tulis didalam salah satu kitab karanganku, lebih dari tiga belas qaul ; dan yang rajih didalam kitabnya Imam Rafi’i dan kitab Ar-Raudhah, yang tersebut boleh memilih. Memilih mani lalu mandi. Dan boleh memilih madzi lalu mencuci cairan yang terkena pada tubuhnya dan pakaiannya dan kemudian berwudhu. Sebab kalau orang itu menganggap madzi, dan kemudain berwudhu, berarti dia sudah memenuhi sesuatu yang membutuhkan wudhu. Jadi hadas kecilnya hilang, sementara hadas besarnya masih tetap diragukan. Padahal asalnya, hadas besar tidak ada. Demikian juga apabila orang tersebut mandi.
Ada yang mengatakan: Orangnya wajib berhati-hati. Sebab orang tersebut yakin dirinya menanggung salah satu dari dua hadas dan dia tidak bisa lepas dari tanggungan itu kecuali dengan yakin pula, yaitu dengan berahti-hati. Seperti, kalau orang itu mempunyai tanggungan satu shalat diantara dua shalat, dan dia tidak mengetahui dengan nyata shalat yang mana satu yang menjadi tanggungannya, orang yang demikian wajib mengerjakan kedua-dua shalat sekali. Qaul ini kuat, dan diunggulkan oleh Imam Nawawi rahimahullah didalam syarah kitab At-Tanbih dan kitab Ru’usul Masa’il karangan beliau. Wallahu-a’lam.
Demikian penjelasan tentang fardhu-fardhu wudhu dalam kitab terjemah Kifayatul Akhyatr karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini
Bila ada yang ditanyakan mohon isi dikomentar, dan jangan lupa ikuti blog saya supaya kalian semua bisa mendapat pemberitahuan jika saya sudah ada postingan terbaru.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته



hewan yang masuk surga

tentang saya

My photo
ahmad sulaeman umur 17 tahun masih pelajar di SMK bina insani-ligung majalengka jawabarat